SANGATTA — Lambannya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) pada tahun anggaran 2025 mengindikasikan adanya persoalan struktural dalam tata kelola perencanaan dan pelaksanaan kebijakan fiskal daerah. Hingga 11 Juli 2025, berdasarkan data dari laman resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kutim, tercatat bahwa nilai total pengadaan, baik melalui mekanisme tender maupun non-tender, baru mencapai Rp124,9 miliar. Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan keseluruhan alokasi APBD tahun berjalan.
Fraksi Rakyat Kutim (FRK), sebagai kelompok pemantau kebijakan anggaran berbasis masyarakat sipil, telah menginisiasi kajian analitis terhadap keterlambatan tersebut. Temuan awal mereka menyebutkan adanya dugaan penyimpangan prosedural dalam proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran, termasuk keterlibatan oknum pejabat di lingkup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutim yang diduga menyalahgunakan wewenang.
Menurut aktivis FRK, Faisal Afzalul Fauzan, tahapan realisasi anggaran seharusnya telah berjalan secara progresif memasuki kuartal kedua dan ketiga. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, keterlambatan seperti ini berpotensi menimbulkan risiko ketidaktercapaian target pembangunan daerah.
“Kami menemukan bahwa bukan hanya aspek administratif yang menjadi persoalan, melainkan juga masalah tata kelola yang memungkinkan manipulasi dalam perencanaan dan pelemahan proses akuntabilitas publik,” ujar Faisal dalam keterangannya, Jumat, 11 Juli 2025.
FRK menyoroti ketidaksesuaian antara regulasi percepatan belanja pemerintah dengan kondisi aktual di lapangan. Instrumen regulatif seperti Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/833/SJ, sejatinya telah dirancang untuk mengakselerasi belanja daerah guna mendorong pertumbuhan ekonomi pascapandemi. Di tingkat lokal, Pemkab Kutim telah mengesahkan Peraturan Bupati Nomor 10 Tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas APBD.
Namun demikian, perda perubahan tersebut dikabarkan belum memperoleh pengesahan final sebagai Peraturan Daerah karena terhambat di ranah eksekutif dan legislatif. Situasi ini memperkuat hipotesis bahwa terdapat disfungsi kelembagaan yang menghambat jalannya siklus penganggaran.
FRK juga mengemukakan bahwa terdapat kegagalan koordinasi antara Bappeda dan perangkat daerah lainnya dalam menyusun program kegiatan prioritas. Indikasi tersebut diperkuat dengan adanya paket kegiatan yang tidak memiliki dasar kebutuhan riil masyarakat (need-based planning) serta minimnya keterlibatan lintas sektor dalam proses perencanaan.
“Jika ini dibiarkan, maka akan menciptakan efek domino berupa pembengkakan Silpa, kehilangan momentum pembangunan, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi negara di daerah,” sambung Faisal.
Sebagai bagian dari strategi advokasi berbasis bukti (evidence-based advocacy), FRK menyatakan telah menghimpun dokumen pendukung berupa bukti primer dan sekunder yang akan diserahkan kepada lembaga pengawas eksternal seperti inspektorat, kejaksaan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), keterlambatan realisasi APBD tidak semata-mata persoalan teknis, tetapi juga cerminan dari lemahnya integritas birokrasi dan sistem pengawasan internal. Diperlukan pembenahan sistemik, mulai dari penguatan peran legislatif dalam pengesahan anggaran, peningkatan kapasitas aparatur dalam perencanaan, hingga reformasi prosedur akuntabilitas publik.
Keterlambatan realisasi APBD Kutai Timur Tahun 2025 bukan hanya menyangkut kinerja keuangan daerah, tetapi menjadi indikator ketimpangan antara kebijakan formal dan praktik birokrasi di lapangan. Tanpa pembenahan struktural dan transparansi proses, transformasi kelembagaan di tingkat daerah akan terus mengalami stagnasi. (*/ale)