MUARA WAHAU – Berdiri di atas sangkar besi ditemani putra bungsunya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni melepasliarkan Mikhayla, orang utan (Pongo abeeli) betina berumur sepuluh tahun. Ketika pintu dibuka, betina itu melesat tanpa ragu keluar sangkar dan bergelayut pada batang tanaman rambat di Hutan Kehje Sewen, Muara Wahau, Kutim, Rabu, 23 April 2025.
Tak banyak pejabat daerah yang hadir saat Menhut bergerak senyap ke pedalaman Muara Wahau, Dalam rilis yang diterima ulinborneo.id, pada Rabu, 23 April 2025, agenda utama menhut adalah memperingati Hari Bumi berupa pelepasliaran 6 orang utan (Pongo abeeli) dari pusat rehabilitasi orang utan Samboja Lestari milik Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Sempaja, Kutai Kartanegara.
Sehari sebelumnya, pada Selasa, 22 April 2025, bertepatan dengan Hari Bumi, diberitakan Menhut Antoni bersama Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud melepas rombongan anak buah menhut dari Sempaja menuju Muara Wahau. Sebagian besar anak buah menteri yang dikenal family man ini, berkendara melalui jalur darat membawa 6 orang utan, salah satunya Mikhayla.
Sebelum dikembalikan ke habitatnya, Mikhayla diselamatkan pada 12 Januari 2025, ditemukan terlunta-lunta di Jalan Poros Sangatta-Bengalon yang masuk wilayah konsesi tambang PT Kaltim Prima Coal. Kondisinya parah, kekurangan gizi dan menunjukan stres berkepanjangan. Melibatkan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim), Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOSF), Pusat Perlindungan Orangutan (COP), dan Jaringan Aksi Konservasi (CAN), primata ini dilarikan ke pusat rehabilitasi orang utan Samboja Lestari untuk segera menerima perawatan.
Setelah tiga bulan direhabilitasi intensif, Mikhayla kembali pulih. Hari ini, ia termasuk dalam 6 orang utan yang dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen. Mikhayla merupakan anggota termuda dari 6 orang utan yang dilepasliarkan. Ada tiga jantan dan dua betina yang dilepasliarkan bersama Mikhayla. Orang utan jantan itu bernama Sie-Sie (31 tahun), Uli (28 tahun), dan Bugis (33 tahun). Sedangkan untuk betina bernama Siti (35 tahun) dan Mori (16 tahun). Sebelum enam orang utan ini dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen, beberapa orang utan pernah dilepasliarkan di sejumlah hutan lindung. Meski pernah menjalani rehabilitasi panjang, semisal Sie-Sie direhabilitasi selama 29 tahun, orang utan ini harus kembali menjalani rehabilitasi ulang karena berkondisi buruk saat dikembalikan ke habitatnya.
Pemilihan area selatan Hutan Kehje Sewen sebagai salah satu lokasi prioritas habitat orang utan telah ditetapkan untuk program pelepasliaran orang utan sejak 2015. Hutan ini berada jauh di pedalaman dengan radius 50 km dari pusat permukiman kota Muara Wahau, dipisahkan aliran hulu Sungai Mahakam yang deras, dan berada di wilayah kerja PT Rehabilitasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI). Perusahaan yang dibentuk Yayasan BOS ini, bertujuan mengelola izin konsesi hutan untuk situs pelepasliaran orang utan. Salah satu aksi konkret RHOI adalah membentuk orang utan warrior.
Dalam rilis resmi Kemenhut RI, Raja Juli mengatakan kolaborasi antara Kementerian Kehutanan bersama Yayasan BOS serta sejumlah mitra lainnya, adalah langkah konkret memperingati Hari Bumi. “Melalui program-program seperti restorasi ekosistem, penguatan kawasan konservasi, rehabilitasi satwa liar, dan pemulihan habitat, Kemenhut berupaya menghadirkan masa depan yang berkelanjutan bagi manusia dan alam,” ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pihaknya menekankan partisipasi serta peran masyarakat sebagai upaya strategis dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dikatakannya, konservasi bukan hanya tentang menyelamatkan spesies, tetapi juga tentang memperkuat hubungan antara manusia dan alam, menjaga warisan bagi anak cucu kita, dan memastikan bahwa hutan kita tetap lestari untuk generasi mendatang.
Raja Juli mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga populasi orang utan yakni memperketat pelepasan kawasan. Sekretaris jenderal Partai Solidaritas Indonesia ini menyebut, terdapat 3 elemen yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberlangsungan hidup orang utan, yakni hutan harus lestari, pembangunan tidak boleh henti, dan kesejahteraan masyarakat itu pasti.
Dia menilai, ketiga elemen ini perlu berjalan secara beriringan jika terjalin kerja sama dan kolaborasi yang positif antarpelbagai pihak. “Jadi tiga elemen ini harus kita kolaborasi dengan baik antara pusat dan daerah, bekerja sama dengan yayasan, pihak swasta, dan lainnya,” sebutnya dalam rilis.
Ketua Yayasan BOS, Jamartin Sihite menyampaikan bahwa pelepasliaran orang utan pada peringatan Hari Bumi imenjadi pengingat yang kuat bahwa upaya rehabilitasi dan perlindungan satwa liar yang kini berada di ambang kepunahan adalah tanggung jawab bersama.
Senada dengan Menhut, Jamartin membeberkan, meski pelepasliaran terus dilakukan, tantangan yang dihadapi masih sangat besar. Lebih dari 350 orang utan saat ini masih menunggu masa depan mereka di pusat rehabilitasi yang dikelola BOSF. Oleh karena itu, perlindungan orang utan harus terus dilakukan dengan semangat membangun bumi yang adil dan lestari bagi semua ciptaan.
“Kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan lembaga konservasi adalah kunci. Kolaborasi ini untuk memastikan bahwa hutan tetap menjadi rumah yang aman bagi orang utan dan seluruh kehidupan yang bergantung padanya,” tutup Jamartin. (*/che)